Tuesday, November 14, 2017

Impacts Of Oil Price Shock On Sector Returns With Regime-Switching Approach: New Evidence From Indonesian Stock Market


Abstract

This study investigates the impacts of an oil price shock on sector returns in the Indonesian stock market. Oil prices and the stock market are both important elements of the Indonesian economy. The research attempts to characterize the impacts and causality relationship between oil price shocks and sector returns, with time segmentation based on structural breaks in oil price data from 1996 to 2016. We applied structural-break analysis to oil prices using the Bai-Perron procedure and identified three break points, thereby dividing the data set into four different regimes. We analyzed the impacts of oil price shocks and sector returns using an unrestricted Vector Autoregression (VAR) model. The findings indicated that impacts of the oil price shocks on sector returns vary, depending on the regime in which the shocks occurred. In general, during low and stable oil price regimes, the impacts of oil price shocks on sector returns were not significant, whereas for high oil price and high volatility regimes, oil price shocks affected some sectors significantly.

Full Text Article: http://www.econjournals.com/index.php/ijeep/article/view/5359


Dharmawan, M.A., Priyarsono, D.S. and Sartono, B., 2017. Impacts of Oil Price Shock on Sector Returns with Regime-Switching Approach: New Evidence from Indonesian Stock Market. International Journal of Energy Economics and Policy, 7(5), pp.44-59.

Friday, October 21, 2016

Motivasi dari Hati

Depth Interview dengan Mr Sukhawat Dansermsuk
(Chief Operating Officer, Charoen Pokphand Foods PCL)

Jumat 7 Oktober 2016, rombongan kelas E-56 SB-IPB, melakukan kunjungan widyawisata ke kantor Charoen Pokphand Foods Public Company Ltd (CPF), Thailand.  Sekitar jam 8:45 bus rombongan memasuki halaman kantor CPF. Kami disambut dengan hangat oleh staf CPF serta pimpinan CPF yang terdiri dari Mr. Sukhawat Dansermsuk (COO),  Ms. Chalita Gludwin (VP R & D) serta jajaran pimpinan lainnya. Selama kunjungan, saya beruntung dapat berbincang-bincang dengan Mr. Sukhawat serta mendapat kesempatan untuk meninjau berbagai fasilitas CPF.

Kesan pertama saya Mr. Sukhawat sebagai CPF Chief Operating Officer, adalah orang yang easy going, percaya diri, dan dengan senyum yang ramah selalu menyapa staf CPF yang dilewatinya. Suaranya yang lantang dihiasi dengan  bahasa Inggris dan campuran beberapa kata Thailand, menjadikan perbincangan dengannya terasa cukup hangat.

Beliau bercerita pernah tinggal beberapa tahun di Malaysia dan sebagai makanan favoritnya adalah nasi lemak dan rendang. Karena itu beliau bercita-cita membuat jenis kuliner tersebut menjadi salah satu makanan cepat siap saji (convenient food) produksi CPF miliknya, untuk dipasarkan ke berbagai negara di Asia Tenggara.

Pabrik pemrosesan makanan siap saji yang kami kunjungi sudah berdiri sejak lebih dari 40 tahun yang lalu. Akan tetapi, secara operasional pabrik ini telah banyak mengalami perkembangan, terutama dapam menerapkan tekologi dan tata kelola lingkungan kerja. Pengelolaan yang baik terlihat dari kebersihan serta adanya tanda-tanda petunjuk yang terpasang rapi di tempat mudah terlihat.

Kapasitas produksi pabrik terus mengalami peningkatan mengikuti penerapan fasilitas produksi yang semakin caggih. Suhu ruangan pada berbagai tahap pemrosesan makanan cepat siap saji CPF dijaga berkisar 2 sampai 10 derajat celcius, sesuai dengan tingkat humidity yang diperkenankan. Daging dari tempat pemotongan ditempatkan dalam kotak-kotak yang teridentifikasi dengan tag RFID (Radio Frequency Identification)  dan kemudian dengan menggunakan sistem robotic kotak-kotak tadi dipindahkan ke proses selanjutnya.

Menurutnya salah satu hal terpenting dalam bisnisnya adalah penerapan teknologi yang memberikan skala ekonomi, dimana output dihasilkan dalam jumlah besar sehingga biaya per unit dari makanan cepat siap saji menjadi sangat rendah. Intervensi tenaga kerja manusia dibuat seminimum mungkin, hanya dibatasi pada tahap-tahap yang membutuhkan supervisi manusia saja. Sehingga jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam pabrik semakin berkurang.

Saat ini pabrik CPF beroperasi dengan hanya 30 orang tenaga kerja. Bandingkan bila tanpa adanya teknologi, dengan kapasitas produksi yang sama, membutuhkan lebih dari 500 pekerja. Selain itu lingkungan kerja dibuat sangat hiegenis dengan suhu yang nyaman. 

Prinsip manajerial yang dijalankan tergambar dari ucapannya: “Kami ingin pekerjaan yang manusiawi bagi karyawan kami, sehingga pekerjaan mengangkat, memindahkan dan pekerjaan fisik lainnya sedapat mungkin kami otomatisasikan prosesnya. Selain itu, suhu lingkungan kerja harus rendah agar hiegenis, dan pada suhu tersebut pekerja harus dapat bekerja dengan perlengkapan alat-alat pelindung serta dengan suasana kenyamanan yang baik”.
Laksa Produksi CPF
Sosis Ayam dan Bumbu Produksi CPF
Otomatisasi dalam sistem produksi, tidak menyebabkan karyawan CPF harus dipecat.  Karyawan yang berlebih di satu pabrik sebagai akibat dari penerapan teknologi robotik, direlokasikan ke pabrik-pabrik baru yang dibangun CPF.

“Kami tidak ingin melukai hati karyawan kami. Jika kami memecat karyawan karena penerapan teknologi, kami tidak akan mendapat dukungan yang kami butuhkan dari karyawan dalam program peningkatan efisiensi dengan teknologi. Selain itu moral pekerja akan runtuh”.  “Dengan penerapan teknologi yang baru kami dapat menggunakan karyawan kami untuk menambah jumlah pabrik dan kapasitas produksi yang baru”.

Sambil berjalan menuju fasilitas produksi lainnya, Mr. Sukhawat bertanya kepada saya: “Do you like Laksa?” dan saya jawab “Yes. I like Laksa. Good, our laksa is very delicious, you have to try it”. Kemudian beliau memanggil stafnya dan memberikan perintah dalam bahasa Thai.

Belajar dari pengalaman
Seluruh informasi serta pengetahuan mengenai proses produksi, permasalahan dan solusinya tersimpan dalam suatu sistem pengelolaan yang disebut logbook. Setiap pekerja selalu mencatat tentang berbagai kegiatan yang dilakukannya, permasalahan yang dihadapi serta, bagaimana masalah tersebut dapat dipecahkan, selama dalam masa jam kerja yang bersangkutan. Dengan demikian karyawan shift berikutnya selalu mendapatkan informasi tentang kondisi operasional pabrik sebelum dilakukan pergantian. Para karyawan dapat belajar dari pengalaman yang pernah terjadi sebelumnya, berdasarkan dari apa yang tercatat secara detail di dalam logbook.

Menurut Mr. Sukhawat, yang menjadi bottleneck saat ini adalah pasar. “Berapa jumlah penduduk Indonesia”? “Di Thailand, jumlah penduduknya sekitar 70 juta jiwa dan saat ini kami merasa pasar ini sangat besar. Indonesia yang memiliki populasi penduduk sebesar 250 juta jiwa sudah seharusnya memiliki fasilitas pemrosesan makanan seperti yang anda lihat disini, itu akan membantu menyediakan makanan dengan kualitas bagus dengan skala produksi yang besar sehingga  menjadi sangat ekonomis.” ujarnya.

“Terlebih lagi dengan AEC (Asean Economic Community) pasar regional yang dapat disasar lebih dari 600 juta jiwa”. “Saya bisa produksi nasi lemak dan rendang di Bangkok kemudian mengirimkannya dengan pesawat AirAsia sebagai sarapan yang lezat bagi orang-orang di Malaysia dan Indonesia”, Lanjutnya.

Industrialisasi produksi makanan memerlukan simplifikasi dalam hal variasi menu dan rasa. Dalam hal ini dia memiliki cara tertentu dalam menghadapi harapan konsumen dengan selera makanan yang berbeda-beda? “Saya tidak berpikir demikian, karena spektrum selera sangat luas dan yang perlu ditargetkan adalah mayoritas dari konsumen. Hal ini menjadi salah satu fokus penelitian tim R & D (Research and Development) kami.” “Kalau saya suka rasa makanannya, biasanya orang lain juga akan suka”, ujar Mr Sukhawat sambil tertawa lebar.

Kemudian kami meninjau fasilitas produksi yang terdiri dari lima tingkat dan proses pengolahan makanan mengalir secara gravitasi dari atas ke bawah sampai akhirnya makanan dikemas dan siap dikirimkan. Tingkat utilisasi fasilitas produksi saat ini adalah sekitar 80% dan CPF masih dapat menambah jumlah produksi untuk mengikuti permintaan pasar. Saat ini ada sedang diselesaikan 2 pabrik lagi untuk menambah kapasitas produksi.

Dari fasilitas produksi kami berjalan kembali ke gedung utama. Di lobi sudah disiapkan jejeran meja dengan makanan-makanan terhidang di atasnya. Mr. Sukhawat mempersilahkan kami untuk mengambil piring, sendok, dan garpu. Ada nasi hangat yang masih mengepul, sosis ayam, sayuran, sop tom yam dan udang rebus. Semuanya benar-benar mengundang selera, walaupun saat itu hari belum terlalu siang; baru jam 10:00.

Saya duduk persis berhadapan dengan  Mr. Sukhawat. Beliau bertanya kenapa tidak mencoba udang rebusnya? Kemudian beliau meminta staf nya untuk mengambil udang rebus untuk kami makan.  Semua yang dihidangkan adalah produksi CPF. “Only the bowl is not produced by us” ujar Mr. Sukhawat sambil tertawa lepas.

Biasanya saya alergi terhadap udang, tetapi saat itu saya beranikan diri untuk mencoba udang dari CPF. Dan Alhamdulillah tidak ada reaksi alergi yang saya alami selama dan sesudah mencoba udang rebus yang lezat tersebut.

Mr Sukhawat Dansermsuk dan Mohammad Arief Dharmawan

Di atas meja kami terdapat sebuah botol produk minuman “Snow Mushroom”. Produk tersebut terbuat dari jamur salju tremella fuciformis. Produk tersebut dilahirkan dari manfaat jamur salju. Berawal dari seorang anak didiagnosa hanya satu paru-parunya yang berfungsi, kemudian secara rutin selama setahun mengkonsumsi jamur salju. Dalam pemeriksaan selanjutnya kedua paru-paru anak tersebut telah berfungsi normal. Saya mencoba minuman snow mushroom tersebut, rasanya seperti jelly yang tawar, tetapi sangat menyegarkan.

Minuman snow mushroom merupakan produk CPF yang baru dirilis ke pasar sekitar satu bulan yang lalu. Promosi sudah mulai dilakukan, tetapi saat ini lebih berfokus pada ketersediaan produk dan distribusinya. Karena promosi yang gencar di media TV, radio dan lainnya, tanpa didukung oleh sistem produksi dan distribusi yang baik tidak akan efektif.

Ms. Chalita, VP R & D bergabung dalam diskusi kami, beliau bercerita tingkat kesuksesan produk baru di CPF adalah sekitar 40%. Sangat baik diatas rata-rata 30% tingkat keberhasilan produk baru di industri makanan. Proses pengembangan produk baru di CPF melalui beberapa fase yaitu: gagasan (discovery), pengembangan konsep (concept development), prototyping, uji produksi, uji pasar, dan penyempurnaan sebelum product launching.

Sistem Produksi Makanan Terpadu CPF
Produk convenient food dari CPF telah mendapat sertifikasi kualitas dan hiegenis. Produk CPF telah memasuki pasar di berbagai negara Eropa, Afrika, Timur Tengah, Amerika dan Asia.
Fasilitas produksi yang kami kunjungi ini dapat dikatakan sebagai yang terbesar di dunia dalam hal kapasitas produksi. CPF mengelola keseluruhan proses dari bibit, pakan, peternakan, pemotongan, pengolahan, produksi dan distribusi ke outlet-outlet ritel, siap dikonsumsi. Di Thailand sendiri, CPF bekerja sama dengan 7-Evelen yang memiliki ribuan outlet penjualan, serta juga kerja sama dengan berbagai restoran dan pusat-pusat kuliner lainnya.

Penggunaan pengawet dan kendali mutu
Ms. Chalita menjelaskan proses produksi yang digunakan CPF sudah sangat maju dengan proses aseptic, sehingga tidak diperlukan penggunaan bahan pengawet dalam produk makanannya. Selama proses produksi, suhu ruangan sangat rendah untuk bakteri dapat tumbuh. Pengemasan yang rapi dan teruji diikuti dengan kendali mutu yang menyeluruh.

Mr. Sukhawat menambahkan proses kendali mutu didukung dengan teknologi seperti pendeteksian kontaminasi logam, serta teknik image processing untuk mendeteksi kontaminasi non logam, seperti: rambut, kayu dan lainnya. Produk berkualitas memerlukan biaya produksi yang mahal, CPF dapat mencapai mutu yang tinggi melalui penggunaan teknologi, ditambah dengan kapasitas produksi yang besar biaya pengendalian mutu terdistribusi pada tiap unit box makanan produksinya sehingga memberikan skala ekonomi. Kualitas yang terbaik dengan biaya yang rendah.

Riset, teknologi dan development, merupakan komponen penting bagi CPF. Penggunaan teknologi yang efektif telah memberikan keunggulan kompetitif bagi CPF, ditunjang dengan proses produksi dan perbaikan berkelanjutan. “Ms. Chalita dan timnya bekerja di R & D (Research and Development). Saya juga merupakan bagian dari R & D”, ujar Mr. Sukhawat.
“Apakah kamu suka laksa nya?” tanya Mr. Sukhawat, saya jawab “it’s excellent” dan beliau tertawa lebar.

Aspek manusia, teknologi dan proses
Mr. Sukhawat menjelaskan: “Saya mengelola karyawan saya dengan hati” sambil meletakkan tangan kanannya di dada, “Semua karyawan adalah manusia seperti saya, apa yang saya suka mereka juga suka, apa yang saya tidak suka mereka juga tidak suka.” “Our hearts work like an X-ray which you can look inside the person, something that you can’t see only by looking at the appearance”.

Karyawan CPF bekerja dengan kondisi kerja yang sehat, nyaman, dengan jam kerja yang wajar, dimana mereka dapat pulang tepat waktu untuk memberikan waktu bagi keluarga. Karyawan juga mendapatkan pelatihan secara terprogram dan profesional sehingga mereka memiliki kompetensi yang tinggi. Hal-hal inilah yang memelihara motivasi kerja yang tinggi.

Tidak terasa waktu sudah hampir pukul 11:00. Sudah hampir dua jam kami berbincang-bincang. Banyak hal yang saya pelajari pagi ini. Dari proses produksi makanan siap saji, penggunaan teknologi yang efektif untuk mencapai skala ekonomi, hingga biaya per unit menjadi sangat rendah. Serta bagaimana seorang COO selama lebih dari 40 tahun berkiprah mengelola organisasinya dengan hati, sehingga tercipta sebuah sistem usaha yang kondusif dan saling menguntungkan.
Bravo CPF & Mr. Sukhawat…!

Bangkok/ Jakarta, 6 – 9 Oktober 2016

Saturday, June 4, 2016

Matriks BCG

Matriks BCG diperkenalkan oleh Boston Consulting Group sebagai sebuah cara untuk membandingkan area bisnis strategis (SBA: Strategic Business Area) suatu perusahaan.

SBA adalah segmen dari lingkungan bisnis dimana perusahaan berkecimpung. General Electric (GE) kemudian melengkapi dengan konsep unit bisnis strategis (SBU: Strategic Business Unit) yaitu unit dari perusahaan yang bertanggung jawab untuk mengembangkan posisi strategis perusahaan dalam satu atau lebih SBA.


Matriks BCG dibuat dengan menghitung tingkat pertumbuhan (growth rate) dan pangsa pasar relatif (relative market share) dari tiap SBA.  Pemetaan posisi persaingan dengan BCG matriks dapat digunakan perusahaan untuk keputusan-keputusan strategis:

  • Stars (High growth rate; High market share): didukung dan diperkuat
  • Dogs (Low growth rate; Low market share): di-divestasi-kan kecuali ada alasan kuat untuk dipertahankan
  • Wildcats (High growth rate; Low market share): perlu dianalisa lebih lanjut apakah perlu investasi lebih lanjut untuk menjadikan area ini sebagai "Stars"
  • Cash cows (Low growth rate; High market share): kendali investasi dan gunakan cash yang dihasilkan digunakan untuk investasi pada "Stars"  dan/atau "Wildcats"
Penerapan matriks BCG ini memerlukan persyaratan:
  1. Prospek masa depan SBA dari suatu perusahaan dapat diukur dalam satu indeks pertumbuhan
  2. Dinamika persaingan masa depan hanya ditentukan oleh pangsa pasar relatif dalam suatu SBA.

Sumber: Ansoff, H.I dan McDonnell, E.J., (1990), Implanting Strategic Management. Prentice Hall International (UK) Ltd,

Evolusi Tantangan Manajemen Strategi

Perspektif sejarah perkembangan ilmu manajemen strategi di Amerika Serikat:

  • Tahun 1820-30: Jaringan kanal, sistem rel kereta api, unifikasi ekonomi; Penemuan mesin uap, proses pengolahan besi baja "Bessemer", vulkanisir karet; awal dari Revolusi Industri
  • Tahun 1880-90: Infrastruktur industri modern, diperkenalkannya konsep kompetisi atau persaingan bisnis
  • Tahun 1900-30: Pembangunan struktur industri; Era produksi masal, aktivitas industri berfokus dalam mendalami dan menyempurnakan mekanisme produksi masal untuk menurunkan biaya produksi per unit. Konsep pemasaran awal dengan fokus mencapai biaya terendah melalui standardisasi produk. Ford Model T: "give it to them any color as long as it's black". Gaya manajemen: management by authority.
  • Tahun 1930-an: Era pemasaran masal. Pergeseran fokus pemasaran dari berfokus ke dalam menjadi pemasaran terbuka. Mulai diperkenalkannya lab R&D dalam perusahaan seperti DuPoint, Bell Telephone, General Electric, dll. 
  • Tahun 1950-an: Era postindustrial. Peter Drucker menyebutnya sebagai "age of discontinuity" di mana banyak perusahaan dihadapkan pada tantangan baru yang tidak diharapkan sebelumnya. Perkembangan teknologi mempengaruhi kedua sisi baik supply maupun demand. Aspirasi sosial beralih dari kuantitas menuju kualitas hidup. Perusahaan besar dituntut untuk meninggalkan praktik mengambil keuntungan secara tidak bermoral, menjadi lebih kreatif, meningkatkan efisiensi. Prioritas sosial mendorong sektor usaha untuk lebih memperhatikan polusi lingkungan, fluktuasi dalam aktivitas ekonomi, inflasi, serta meninggalkan praktik monopoli dan berbagai praktis manipulasi konsumen, serta meningkatkan kualitas setelah penjualan. Gaya manajemen: management by consensus.
  • Tahun 1950-70: Meningkatnya turbulensi lingkungan: teknologi baru, pesaing baru, sikap konsumen yang berubah, dimensi baru dalam kendali sosial, dan tuntutan atas peran perusahaan dalam masyarakat.
  • Tahun 1980-2000: Munculnya Jepang sebagai kekuatan dunia. Munculnya sosialisme dan neo-kapitalisme. Perancangan ulang pekerjaan dan proses bisnis. Gaya manajemen: management by power.
Secara historis fokus permasalahan melalui 3 fase perubahan utama: (1) pembentukan usaha bisnis yang modern, (2) penyempurnaan teknologi produksi masal dan (3) pengembangan pemasaran masal. Selama fase-fase tersebut, perusahaan relatif tahan terhadap tekanan sosial dan masyarakat. Kemudian perubahan menjadi semakin kompleks, baru dan tidak sejalan dengan pengalaman di masa lalu, seperti kompetisi global serta meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam menentukan bagaimana perusahaan dijalankan. Perubahan menjadi semakin sulit diprediksi dan kejutan-kejutan menjadi semakin sering.

Sumber: Ansoff, H.I dan McDonnell, E.J., (1990), Implanting Strategic Management. Prentice Hall International (UK) Ltd, 

Monday, March 21, 2016

Komunikasi Pemasaran dengan Menggunakan Media Film


Dalam kuliah Manajemen Pemasaran dari Prof. Ujang Sumarwan kami membahas perang strategi antara produsen permen coklat Hershey dan Mars. Konteks pembahasan umum adalah komunikasi terpadu dalam hubungan masyarakat, dan secara spesifik adalah penggunaan film populer sebagai media komunikasi dalam memasarkan produk.

Salah satu hal yang menarik dalam kasus Chocolate War adalah ketika Hershey memperkenalkan produk yang relatif baru, Reese’s Pieces Peanut Butter dengan menggunakan media film “E.T. The Extra-Terrestrial” yang kemudian produk Reese’s Pieces Peanut Butter menjadi sangat populer seiring dengan keberhasilan film E.T.

Film “E.T. the Extra-Terrestrial” yang disutradarai oleh Steven Spielberg dirilis pada tahun 1982. Pertama kali produser dari film ini menawarkan kepada Mars untuk memasukkan salah satu produk utamanya M&M’s dalam film, namun sayangnya ditolak oleh Mars. Eksekutif di perusahaan permen coklat Mars menolak produknya diasosiasikan dengan mahluk luar angkasa yang penampilannya sangat tidak menarik. Kesempatan ini diambil oleh Hershey yang sedang berusaha menaikkan penjualan lini produk Reese’s Pieces. Seiring dengan keberhasilan film E.T. di pasar, penjualan permen coklat Reese’s Pieces Peanut Butter ikut melonjak tinggi hampir sebesar 300%. Hal ini merupakan sebuah indikasi bahwa film bisa jadi sebuah platform promosi yang efektif untuk menggerakan perubahan yang diinginkan dari sikap konsumen ataupun juga persepsi terhadap produk.

Morton dan Friedman (2002) dalam penelitiannya menyatakan bahwa film sebagai media pengiklanan memiliki keunggulan dibanding media promosi lainnya. Brand Awareness meningkat pada penonton yang pasarnya sudah ditentukan sesuai dengan tema dari film, dan hasilnya adalah konsumen lebih mengingat merek atau produk dalam film tersebut hingga pada keputusan pembelian produk. Berbeda dengan iklan biasa, penempatan produk melalui film tidak mencolok sehingga konsumen lebih mempercayai manfaat dari produk.

Penggunakan media film sebagai cara promosi produk yang efektif juga memiliki keterbatasan. Alur cerita bisa jadi tidak begitu sesuai dengan yang keinginan pengiklan dalam membentuk persepsi terhadap produk. Kemudian jika film yang digunakan sebagai media promosi berhasil di pasar dengan jumlah penonton yang banyak, maka keberhasilan penempatan produk juga  semakin baik. Tetapi, jika film yang digunakan tidak menarik banyak penonton, maka program promosi tidak dapat secara maksimal menjangkau segmen pasar yang diinginkan.

Dalam pengamatan penulis, beberapa film yang secara elegan mampu mempromosikan sebuah produk, jasa, ataupun lokasi dengan baik memang sangat efektif. Sebagai contoh, film “Da Vinci Code” yang diangkat dari novel karangan Dan Brown, mengambil lokasi di Museum Louvre, Paris, mampu meningkatkan kesadaran penonton akan lokasi Museum tersebut, dan menimbulkan keinginan untuk mengunjungi kota Paris dan Museum Louvre. Film  dari novel Dan Brown lainnya “Angels and Demons” juga mempromosikan kota Roma dan Vatican City. Dalam promosi jasa atau keahlian,  Film “Mr Peabody and Sherman” secara tidak mencolok mempromosikan manfaat jasa chiropractic dalam menyembuhkan gangguan kesehatan seperti backpain. Di Indonesia, film Laskar Pelangi juga menimbulkan kesadaran akan indahnya alam di Pulau Belitung, bayangkan jika film ini menjadi hit di pasar dunia tentunya akan dapat meningkatkan jumlah wisatawan manca negara berkunjung ke Indonesia.

Daftar Pustaka

Morton C. R., Friedman M., (2002), I Saw it in the Movies: Exploring the Link between Product Placement Beliefs and Reported Usage Behavior, Journal of Current Issues & Research in Advertising.

Steinbruner, J. (2008), The 10 Most Shameless Product Placements in Movie History. Artikel. Tautan Internet http://www.cracked.com/article_16574_the-10-most-shameless-product-placements-in-movie-history.html (diakses 9 Maret 2016)

Sumarwan, U., dkk (2016), Pemasaran Strategik: Perspektif Perilaku Konsumen dan Marketing Plan, Bogor: IPB Press

Wikipedia (2016),  Reese’s Pieces, Tautan Internet https://en.wikipedia.org/wiki/Reese%27s_Pieces (diakses 9 Maret 2016)